perkembangan
politik indonesia Orba, Orda, reformasi.
A. Pendahuluan Secara konseptual, komponen-komponen pokok yang ada di dalam
pembangunan politik adalah bahwa pemerintah kita harus selalu mampu menanggapi
setiap perubahan yang ada dalam masyarakat, sebab suprastruktur dan
infrastruktur politik yang ada memang efektif dan berfungsi secara optimal,
yang kesemuanya didukung oleh warganegara yang dinamis dan berada dalam naungan
persamaan hukum dan perundang-undangan. Pencapaian hal-hal tersebut biasanya
selalu akan menimbulkan permasalahan yang menyangkut identitas (jati diri)
bangsa, legitimasi kekuasaan, partisipasi anggota masyarakat, serta menyangkut
pemerataan hasil-hasil pembangunan melalui sistem yang efektif yang menjangkau
keseluruh lapisan masyarakat. Setiap kali kita berhasil mengatasi suatu permasalahan
tersebut maka berarti kita “maju” di dalam melakukan pembangunan politik di
dalam mengembangkan sistem demokrasi. Sejak awal Indonesia berdiri, kehidupan
politik dan hukum diwarnai begitu rupa, tidak dalam pengertian hingar bingarnya
demokrasi, tetapi justru secara mencolok dapat dikatakan oleh sentralisasi
kekuasaan pada satu tangan, meskipun sebenarnya konstitusi telah memberi
peluang yang cukup besar kepada hukum. Secara umum proses perjalanan bangsa
dapat dibagi dalam dua bagian yaitu, periode Orde Lama dan periode Orde Baru.
Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan
nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula
yang memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang
mengaburkan identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948,
Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan
PKI 1965. Namun sejarah juga menunjukkan rezim Orde Baru yang dianggap
memberikan perbaikan dan menyelamatkan keadaan bangsa saat itu selama masa
pemerintahannya melakukan pemasungan terhadap hak-hak politik warga negara,
pembangunan memang dapat berjalan dengan cukup baik dimana tingkat pertumbuhan
ekonomi bahkan pernah mencapai 7 % (tujuh persen) namun keberhasilan itu hanya
bersifat semu karena semua pembangunan dibiayai dari hutang luar negeri yang
berakibat timbulnya krisis moneter dan tumbuh sehatnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
B. Pembahasan Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia
masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami
berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan
ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan
serta mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan
instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada
pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik
balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total
terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya
mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi
sosialisme komunisme. Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH,
mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara
dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu
konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Konfigurasi
politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam
suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang
konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik
melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada
masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang
terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi
feodalisme. Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri
tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas
landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan
pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan
selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur. Indonesia
menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis.
Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia
didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis
Permusyawatan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang
anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang
anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah
diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya
masing-masing. Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan
kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensiil sehingga para menteri
bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di
parlemen. Meskipun demikian, Presiden yang diusung oleh Partai juga menunjuk
sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk
menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di
Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh Menteri tanpa
portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya).
Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan
oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk
pengaturan administrasi para hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan. Sistem Politik berarti mekanisme
seperangkat fungsi atau peranan dalam strutkus politik dalam hubungan satu sama
lain yang menunjukkan satu proses yang langgeng. Sistem Politik Indonesia
berarti : 1. Sistem politik yang pernah berlaku di Indonesia (masa lampau) 2.
sistem politik yang sedang berlaku di Indonesia (masa sekarang) 3. Sistem
politik yang berlaku selama eksistensi Indonesia masih ada (masa yang akan
datang) Di dalam dunia perpolitikan yang terjadi di Indonesia, kalau semasa
orde lama berbagai percobaan sistem kenegaraan pernah dilakukan oleh Presiden
Soekarno, mulai dari percobaan adopsi demokrasi ala barat yang puritan hingga
demokrasi terpimpin. Namun, ketika orde lama yang dimotori Soekarno tumbang,
naiklah sebuah orde yang dimotori oleh pihak militer ke jenjang kekuasaan
pemerintahan yang dinamakan orde baru. Sesuai dengan jiwa orang-orang yang
berada di balik layar, maka pemerintahan yang bergaya militer dan
berciri-khaskan kebapakan (komandan) serta terkurungnya berbagai kebebasan
madani mulai berkembang. Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari
proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup
sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar
lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi
fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem
politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh
lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan. Dalam melakukan analisis sistem
bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian,
tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan
proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus
dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan
dan pengambilan keputusan Proses politik mengisyaratkan harus adanya
kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi
kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi
tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik
seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan
19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern
sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level)
yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar
masyarakat dan lingkungan internasional. Pengaruh ini akan memunculkan
perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau
dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional. Masa
transisi dalam sebuah konstalasi politik negara merupakan periode rekonsolidasi
antara kekuatan politik yang menghendaki perubahan. Rekonsolidasi dilakukan
dalam level elite sekaligus upaya pelibatan basis massa rakyat sebagai pemegang
legitimasi negara. Masa transisi merupakan periode menentukan dalam sebuah
perkembangan politik, sehingga membutuhkan sebuah konsistensi, energi ekstra
dan konsolidasi dari kelompok progresif. Sebab, rekonsolidasi tidak hanya
sekadar menyatukan potensi kekuatan kelompok progresif, yang tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana mengantisipasi kekuatan status quo (konservatif).
Bahkan, mengawal sebuah perubahan jauh lebih penting dari memulai perubahan.
Indonesia setidaknya telah mencatat dua era transisi yang penting, yakni era
peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi. Peralihan rezim
Orde Lama ke Orde Baru dalam skop nasional selama ini dipahami melalui
buku-buku teks yang memuat kronologi sejarah nasional. Penulisan sejarah yang
‘monolog’ dan cenderung pro-pemerintah (buku putih Orde Baru). Sedangkan proses
jatuhnya Orde Baru yang masih digolongkan sebagai sejarah kontemporer dapat
diakses secara luas dan variatif. Indonesia yang menganut sistem negara
kesatuan, dalam proses meraih legitimasinya hingga saat ini, kerap dihadapkan
pada permasalahan disintegrasi. Kondisi geografis yang terdiri dari ribuan
pulau, realitas multikultur, etnis, suku, dan agama menjadi tantangan tersendiri
dalam menjaga kukuhnya integritas nasional. Dalam tinjauan historis, proses
konsolidasi para pemuda dapat terwujud melalui ikrar Sumpah Pemuda pada tahun
1928, yang selanjutnya menjadi bekal peneguhan visi mewujudkan kemerdekaan,
hingga lahirnya konsep negara kesatuan. Perjalanan sejarah lahirnya negara
Indonesia lahir melalui kesamaan visi melepaskan diri dari imprealisme
sekaligus merupakan wujud ikatan emosionil sebagai bangsa bekas jajahan
Belanda. Ciri Orde Lama, yang dilakukan pada masa pemerintahan Soekarno adalah
Yang Pertama, sistem Presidensial dengan artian Presiden sebagai kepala negara
yang berjalan pada setiap priodik masa jabatan dan keseimbangan terhadap
pemerintah dan rakyat. Yang Kedua, sistem Parlementer dengan artian perdana
mentri sebagai kepala negara, tetapi ada kelemahannya yakni masa jabatannya
sangat singkat dan pemerintahannya tidak stabil adapun kelebihannya pengakuan
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat besar. Yang Ketiga,
tentang Demokrasi Terpimpin dengan artian menjadi kepala negara seumur hidup
dan hampir pemerintahannya sangat otoriter. Adapun kegagalan dan kelebihan pada
Orde Lama ada, terutama kegagalan Orde Lama pada pemerintahan Soekarno adalah
masalah ekonomi yang kian turun, stabilitas politik-keamanan sangat kurang, dan
konstitusi yang tidak komitmen. Adapun keberhasilan pada Orde Lama adalah
nation building yang sangat kuat dan diplomasi luar-negri yang sangat besar
terhadap dunia. Akan tetapi menurut para politik ini semuanya gagal dalam pemerintahan
Orde Lama. Ciri Orde Baru, yang dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto
adalah Yang Pertama, wawasan kebangsaan yang sangat lemah dan bersifat dogmatis
atau doktrin yang terlalu berlebihan. Yang Kedua, Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme yang meraja lela. Yang Ketiga, jiwa dan bathinnya yang kering. Adapun
kegagalan dan kelebihan pada Orde Baru ada, terutama kegagalan Orde Baru pada
pemerintahan Soeharto adalah ketidakadilan dalam sosial baik pemerintah maupun
rakyat jelata sekalipun sehingga timbulah korupsi pada jiwa bangsa ini,
kurangnya membangun keterbukaan politik. Adapun keberhasilan pada Orde Baru
adalah pembangunan fisik, yang amat disayangkan ialah tidak melihat sisi bathin
masyarakat pada masa itu, pertumbuhan ekonomi yang cukup baik saya kira pada
era 1980 hingga 1996-an masyarakat masih merasakan rupiah pada waktu itu sampai
kepada tahap no urut 8 besar, itupun masih ada uang inggris yang tinggi pada
waktu itu, lalu stabilitas politik-keamanan yang sangat kuat dibandingkan pada
masa Orde Baru. B.1. Masa Peralihan Orde Lama ke Orde Baru Situasi perpolitikan
nasional menjelang runtuhnya Orde Lama, ditandai dengan pertarungan perebutan
pengaruh dan upaya penciptaan hegemoni pada pemerintahan. Kekuatan yang dominan
dan memiliki pengaruh, diantaranya adalah Militer (Angkatan Darat), Masyumi,
PNI, PKI, dan Soekarno. Namun, perkembangan situasi politik membawa perubahan
yang lebih cepat. Semula berhembus isu Dewan Jenderal yang berada dalam tubuh
Angkatan Darat dan dituduh akan melakukan kudeta. Peristiwa Gerakan Tiga Puluh
September (G30S) telah membuka peta politik menjadi semakin teransparan. Saat
itu, PKI menjadi satu-satunya kelompok yang dituduh sebagai dalang dari upaya
kudeta tersebut. Puncak dari konstalasi politik tersebut menggiring PKI tertuduh
sebagai dalang dan pelaku pemberontakan. Akibatnya, PKI tidak saja terdepak
dari kedudukan politiknya di kabinet maupun di parlemen. Bahkan, militer di
bawah kendali Soeharto bersama kelompok massa demonstran dari kalangan
mahasiswa dan pelajar (KAMMI dan KAPPI) seakan terhipnotis terbawa isu untuk
menghancurkan PKI dan jaringan Ormasnya. Peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan
Orde Baru ke Reformasi dalam tinjauan geopolitik Indonesia makro adalah fakta
pengulangan sejarah yang menempatkan sosok presiden sebagai subyek sekaligus
obyek perubahan. Namun, secara kontekstual masing-masing memiliki faktor
determinisme kausalitas yang berbeda. Praktik komunikasi politik selalu
mengikuti sistem politik yang berlaku. Di negara yang menganut sistem politik
tertutup, komunikasi politik pada umumnya mengalir dari atas (penguasa) ke
bawah (rakyat). Komunikasi politik semacam itu menerapkan paradigma komunikasi
top down. Penerapan pendekatan ini memang bukan satu-satunya, namun yang
dominan dilaksanakan adalah pendekatan top down. Untuk mewujudkan paradigma
tersebut, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat
transmisional. Komunikasi politik semacam ini banyak dipraktikkan para penguasa
ketika Indonesia menganut sistem politik tertutup. Ketika rezim Orde Lama
berkuasa, pesan politik yang mengemuka di media massa pada umumnya berisi
konflik, kontradiksi yang antagonistik, dan hiperbola. Pesan-pesan politik
semacam itu kemudian jarang ditemui di media massa semasa Orde Baru berkuasa.
Pada era ini, pesan-pesan politik lebih banyak bermuatan konsensus dan kemasan
eufemisme. Meski pada dua era itu berbeda dalam penekanan pesan politiknya,
namun hakikatnya tetap menerapkan komunikasi satu arah (linear). B.2.
Konfigurasi politik era orde lama Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959
mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan
dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69
berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS
1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante
melaksanakan tugasnya. Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi
terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959
dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS
1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah
UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan
struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem
“Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai
oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah
yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar,
tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas
objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara
baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian
muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin”
dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan
keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi”
(berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959,
maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan
nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie). Sistem “Trial
and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang
pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga
pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental
(1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI,
NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem
catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus
kita bayar tingggi berupa: 1. Gerakan separatis pada tahun 1957 2. Konflik
ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi
kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959. Oleh karena
konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah
mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah
Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang
kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra.
Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata
Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat
diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959
kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung
tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan
Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang
sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi. B.3. Konfigurasi
politik era orde baru Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde
Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani
sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala
tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai
Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto
secara penuh. Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung
pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah
mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan
berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang
yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan
dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru. Pada masa Orde
Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya
dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang
disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu : 1.
Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga
dengan konsensus utama; 2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai
cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai
lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan
masyarakat. Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan
konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa.
Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu
konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat
Indonesia. Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai
politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan
semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan
tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas.
Terlebih kepada PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan
dengan rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap
partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi
ingin menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama,
pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak
boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama
sehingga terkesan sebagai partai baru. Pada Pemilu 1971 partai-partai politik
disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai
memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati
Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan
gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian
pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber
Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok
fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini
merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk
organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle
Unit “ rezim orde baru. Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan
partai yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai
politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini
menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang
aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional,
spiritual dan karya. Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi)
sudah dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui
Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini
berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982,
1987, 1992 dan 1997). B.4. Partai Politik Melihat sejarah sepanjang Orde Lama
sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi yang sangat penting
sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide,
pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik
menggambarkan adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:
1. Sarana komunikasi politik 2. Sosialisasi politik 3. Sarana rekruitmen
politik 4. Pengatur konflik. Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana
partai politik berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests
Articulation) dimana berbagai ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat
mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi
politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan
strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen
kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai
politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Disamping
itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam
arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara
konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka
partai politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat
kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan. Dengan demikian,
fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk
memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya
dalam kehidupan bernegara. Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa
dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai dilihat bahwa
keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk: (a) untuk menghapuskan
penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya
(kolonialisme dan imperialisme); (b) untuk mencerdaskan bangsa Indonesia; (c)
untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk
melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu; ·
Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa; ·
Pemerintahan Negara yang demokratis; · Menentukan Undang-Undang Dasar Negara
yang memuat ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang sesuai dengan nilai-nilai
sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi. Dari perjalanan sejarah
kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat dua ciri utama yang
mewarnai pendirian dan pergeseran masing-masing organisasi politik dan golongan
fungsional yang ada, yaitu: · Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan
politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada
persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan bermuara
pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut ditempuh
melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia. · Sedangkan landasan
(faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain. Kemudian,
keberadaan partai politik-partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan
pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum.
Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan
umum di Indonesia, antara lain: pertama, memungkinkan terjadinya pergantian
pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi
sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga, untuk melaksanakan hak-hak asasi
warga negara. Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum
bagaikan dua sisi dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu
sama lain dikarenakan keduanya saling bergantungan dan mengisi. B.5. Partai
Politik dalam Era Orde Lama Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut
sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini
ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan
Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang
berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol
dan juga terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden
5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan
Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang
pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14
April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah,
antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai
Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17
Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan. Dengan berkurangnya jumlah parpol
dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik
ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi.
Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada
tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.” B.6. Partai
Politik dalam Era Orde Baru Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan
dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan
terhadap partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah
peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum
tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia
(PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah,
HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM. Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi
pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang
terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal
13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU,
PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan
dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya.
Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka
terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu,
sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta
satu Golongan Karya. Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu
hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini
mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu. B.7. Latar
belakang lahirnya orde baru Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan
untuk memisahkan antara kekuasaan masa Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto.
Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun
1965. Orde baru lahir sebagai upaya untuk : · Mengoreksi total penyimpangan
yang dilakukan pada masa Orde Lama. · Penataan kembali seluruh aspek kehidupan
rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. · Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. · Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk
menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Latar belakang lahirnya Orde Baru : Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September
1965. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa
Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah
berlangsung lama. Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai
600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga
bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat. Reaksi keras dan meluas
dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan
oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi
Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili. Kesatuan aksi
(KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan
Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan
66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR
mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi : · Pembubaran
PKI berserta Organisasi Massanya · Pembersihan Kabinet Dwikora · Penurunan
Harga-harga barang. Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan
Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat
menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa
Gerakan 30 September 1965. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin
menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa
Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk
Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub). Sidang Paripurna kabinet dalam rangka
mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka
Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang
ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk
mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan. Upaya menuju
pemerintahan Orde Baru : · Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah
dilakukan penataan pada kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945. Penataan dilakukan di dalam lingkungan lembaga
tertinggi negara dan pemerintahan. · Dikeluarkannya Supersemar berdampak
semakin besarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah karena Suharto berhasil
memulihkan keamanan dan membubarkan PKI. · Munculnya konflik dualisme
kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan karena saat itu Soekarno
masih berkuasa sebagai presiden sementara Soeharto menjadi pelaksana
pemerintahan. · Konflik Dualisme inilah yang membawa Suharto mencapai puncak
kekuasaannya karena akhirnya Sukarno mengundurkan diri dan menyerahkan
kekuasaan pemerintahan kepada Suharto. · Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS
menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengukuhkan pengunduran diri Presiden
Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No.
XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali
mandat MPRS dari Presiden Sukarno . · 12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik
sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya
kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru. · Pada Sidang Umum bulan
Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
B.8. Kehidupan Politik Masa Orde Baru Upaya untuk melaksanakan Orde Baru :
Melakukan pembaharuan menuju perubahan seluruh tatanan kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara. Menyusun kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas
nasional guna mempercepat proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
Menetapkan Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Melaksanakan Pemilu secara teratur serta penataan pada
lembaga-lembaga negara. Pelaksanaan Orde Baru : Awalnya kehidupan demokrasi di
Indonesia menunjukkan kemajuan. Perkembangannya, kehidupan demokrasi di
Indonesia tidak berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin. Untuk menjalankan
Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan untuk menganut sistem
pemerintahan berdasarkan Trias Politika(dimana terdapat tiga pemisahan
kekuasaan di pemerintahan yaitu Eksekutif,Yudikatif, Legislatif) tetapi itupun
tidak diperhatikan/diabaikan. Langkah yang diambil pemerintah untuk penataan
kehidupan Politik : A. Penataan Politik Dalam Negeri 1. Pembentukan Kabinet
Pembangunan Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah
Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera
yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan
untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut
Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut : Memperbaiki kehidupan
rakyat terutama di bidang sandang dan pangan. Melaksanakan pemilihan Umum dalam
batas waktu yakni 5 Juli 1968. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas
aktif untuk kepentingan nasional. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan
kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Selanjutnya setelah sidang
MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 5 tahun
maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama Kabinet Pembangunan dengan
tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi : Penciptaan stabilitas
politik dan ekonomi Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun
Tahap pertama Pelaksanaan Pemilihan Umum Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 3o
September Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari
pengaruh PKI. 2. Pembubaran PKI dan Organisasi masanya Suharto sebagai
pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta kestabilan
jalannya pemerintahan maka melakukan : Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret
1966 yang diperkuat dengan dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966.
Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi
terlarang di Indonesia. Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang
menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan
muncul keraguan bahwa mereka tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban. 3. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan
berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi)
sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada
ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga
kekuatan sosial-politik, yaitu : Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan
fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal
5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam) Partai Demokrasi Indonesia
(PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan
Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis). Golongan Karya
(Golkar) 4. Pemilihan Umum Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan
pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun
sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. 1) Pemilu 1971
Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para
pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu
dapat ikut menjadi calon partai secara formal. Organisasai politik yang dapat
ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada dan diakui mempunyai
wakil di DPR/DPRD. Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460
orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236
kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi),
Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi),
Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai
IPKI (tak satu kursipun). 2) Pemilu 1977 Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977
pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai
penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai
politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3
kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi
untuk PDI. 3) Pemilu 1982 Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982.
Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal
memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar
berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10
kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi. 4) Pemilu 1987 Pemilu tahun
1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah :
PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu
1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah
mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang
partai dari kabah menjadi bintang. Sementara Golkar memperoleh tambahan 53
kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI
berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam
Negeri Soepardjo Rustam. 5) Pemilu 1992 Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada
tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan
Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62
kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi. 6) Pemilu 1997 Pemilu keenam
dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya: Golkar memperoleh suara mayoritas
perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi. PPP
mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27
kursi. PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi
di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara
PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri. Penyelenggaraan Pemilu yang
teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah
tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung,
Umum, Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan
peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak
pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat
menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR.
Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia
selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan
Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan
dari MPR dan DPR tanpa catatan. 5. Peran Ganda ABRI Guna menciptakan stabilitas
politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran
hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini
dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang
tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga
MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan
pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator. 6.
Pemasyarakatan P4 Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan
gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu
gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai
Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4. Guna mendukung program
Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua
lapisan masyarakat. Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang
sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama
diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara.
Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang
kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Pelaksanaan Penataran P4 tersebut
menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal
ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua
organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4
merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari
sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. B.
Penataan Politik Luar Negeri Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia
diupayakan kembali kepada jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif.
Untuk itu maka MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan
politik luar negeri Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus
berdasarkan kepentingan nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran
rakyat, kebenaran, serta keadilan. 1) Kembali menjadi anggota PBB Indonesia
kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi bidang
pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada
tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi
anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab
kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini
dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia
selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi
akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966. Kembalinya
Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak
PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua
Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi
anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah
negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara
lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama. 2)
Normalisasi hubungan dengan beberapa negara Sebelum pemulihan hubungan dengan
Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan Singapura dengan
perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah
Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura pada tanggal 2
Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya
pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan
hubungan diplomatic. Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan
diadakan perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan
perjanjian Bangkok, yang berisi: Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan
kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam
Federasi Malaysia. Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan
diplomatik. Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan
Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani
persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan
perwakilan pemerintahan di masing-masing negara.. 3) Pendirian
ASEAN(Association of South-East Asian Nations) Indonesia menjadi pemrakarsa
didirikannya organisasi ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967. Latar belakang
didirikan Organisasi ASEAN adalah adanya kebutuhan untuk menjalin hubungan
kerja sama dengan negara-negara secara regional dengan negara-negara yang ada
di kawasan Asia Tenggara. Tujuan awal didirikan ASEAN adalah untuk membendung
perluasan paham komunisme setelah negara komunis Vietnam menyerang Kamboja.
Hubungan kerjasama yang terjalin adalah dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya. Adapun negara yang tergabung dalam ASEAN adalah Indonesia,
Thailand, Malysia, Singapura, dan Filipina. B.9. Dampak Kebijakan Politik dan
Ekonomi masa Orde Baru Dampak positif dari kebijakan politik pemerintah Orba :
Pemerintah mampu membangun pondasi yang kuat bagi kekusaan lembaga kepresidenan
yang membuat semakin kuatnya peran negara dalam masyarakat. Situasi keamanan
pada masa Orde Baru relatif aman dan terjaga dengan baik karena pemerintah
mampu mengatasi semua tindakan dan sikap yang dianggap bertentangan dengan
Pancasila. Dilakukan peleburan partai dimaksudkan agar pemerintah dapat
mengontrol parpol. Dampak negatif dari kebijakan politik pemerintah Orba:
Terbentuk pemerintahan orde baru yang bersifat otoriter, dominatif, dan
sentralistis. Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan politik yang sangat merugikan
rakyat. Pemerintah Orde Baru gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik
dan benar kepada rakyat Indonesia. Golkar menjadi alat politik untuk mencapai
stabilitas yang diinginkan, sementara 2 partai lainnya hanya sebagai boneka
agar tercipta citra sebagai negara demokrasi. Sistem perwakilan bersifat semu
bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara
sepihak. Dalam setiap pemilhan presiden melalui MPR Suharto selalu terpilih.
Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN(Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme)sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak
mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya. Kebijakan politik teramat
birokratis, tidak demokratis, dan cenderung KKN. Dwifungsi ABRI terlalu
mengakar masuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan pada
bidang-bidang yang seharusnya masyarakat yang berperan besar terisi oleh
personel TNI dan Polri. Dunia bisnis tidak luput dari intervensi TNI/Polri.
Kondisi politik lebih payah dengan adanya upaya penegakan hukum yang sangat
lemah. Dimana hukum hanya diciptakan untuk keuntungan pemerintah yang berkuasa
sehingga tidak mampu mengadili para konglomerat yang telah menghabisi uang
rakyat. Dampak Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru : Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan
hasilnyapun dapat terlihat secara konkrit. Indonesia mengubah status dari
negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan beras
sendiri (swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan
perbaikan kesejahteraan rakyat. Penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi
pendidikan dasar yang semakin meningkat. Dampak Negatif Kebijakan ekonomi Orde
Baru : Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam
Perbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam
masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan
(Marginalisasi sosial) Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) Pembagunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat
dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung
terpusat dan tidak merata. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi
tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan
berkeadilan. Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental
pembangunan ekonomi sangat rapuh. Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya
kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar
seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilahh yang selantunya ikut
menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir
tahun 1997. Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru : perkembangan GDP per
kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS $70 dan pada 1996 telah mencapai
lebih dari AS$1.000 sukses transmigrasi sukses KB sukses memerangi buta huruf
sukses swasembada pangan pengangguran minimum sukses REPELITA (Rencana
Pembangunan Lima Tahun) sukses Gerakan Wajib Belajar sukses Gerakan Nasional
Orang-Tua Asuh sukses keamanan dalam negeri Investor asing mau menanamkan modal
di Indonesia sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru : semaraknya korupsi, kolusi,
nepotisme pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah
sebagian besar disedot ke pusat munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah
karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara
penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah
yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya bertambahnya kesenjangan sosial
(perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin) SUMBERNYA :
http://idzulafrianto.blogspot.com/2013/01/perbandingan-politik-politik.html
otonomi daerah (uu, pengertian, kelebihan dan kekurangan, keberhasilan otonomi daerah dll).
otonomi daerah (uu, pengertian, kelebihan dan kekurangan, keberhasilan otonomi daerah)
UU Otonomi Daerah
UU otonomi daerah
di Indonesia merupakan dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. UU otonomi daerah di Indonesia
merupakan payung hukum terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU otonomi
daerah seperti, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan seterusnya.
UU
otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah
sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan
di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan
bahwa:
“Pemerintahan
daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Selanjutnya
Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk
mengatur mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah,
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (7),
bahwa:
“Susunan
dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan
tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah di
Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan
lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang menurut hirarki atau tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Otonomi
daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998.
Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan. Pada tahap awal
pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah
diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata
laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.
Perubahan UU Otonomi Daerah
Pada
tahap selanjutnya UU
otonomi daerah ini
mendapatkan kritik dan masukan untuk lebih disempurnakan lagi. Ada banyak
kritik dan masukan yang disampaikan sehingga dilakukan judicial review terhadap
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah. Dengan
terjadinya judicial review maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah ini juga diikuti pula dengan perubahan peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai otonomi daerah yang berfungsi
sebagai pelengkap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang
selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sesungguhnya
UU otonomi daerah telah mengalami beberapa kali perubahan setelah disahkannya
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun perubahan tersebut
meskipun penting namun tidak bersifat substansial dan tidak terlalu memberikan
pengaruh terhadap tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah karena hanya
berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
Sejak
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan
menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomo 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).
Selanjutnya
dilakukan lagi perubahan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah
PENGERTIAN, PRINSIP DAN TUJUAN OTONOMI DAERAH
1. Pengertian Otonomi Daerah
Istilah
otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang
berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan
sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu
Suryaninrat; 1985).
Beberapa
pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1.
F. Sugeng Istianto,
mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah.
2.
Ateng Syarifuddin,
mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi
bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud
pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3.
Syarif Saleh, berpendapat
bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak
mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat
lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah
pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara
secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood
(1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang
mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang
diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang
substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan
otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang
dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri,
mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk
berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar
pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan
yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang
harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan
bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk
melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat
tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius
(1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan
politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan
perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan
apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa
disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas
dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Beranjak
dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya
mempunyai tiga aspek, yaitu :
1.
Aspek Hak dan Kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2.
Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti
peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam
satu kerangka pemerintahan nasional.
3.
Aspek kemandirian dalam
pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan
pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan
sendiri.
Yang
dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah
daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan,
pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong
pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah
adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan
kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dengan
demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun
2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1.
Berinisiatif sendiri yaitu
harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
2.
Membuat peraturan sendiri
(PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3.
Menggali sumber-sumber
keuangan sendiri.
4.
Memiliki alat pelaksana baik
personil maupun sarana dan prasarananya.
Prinsip dan Tujuan
Otonomi Daerah
Otonomi
daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal
sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan
otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan
yang jelas.
Daerah
otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal
dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan
demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan
otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah
provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas
kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan
kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh
provinsi.
Secara
konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih
banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya
berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara
nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam
diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa
dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan
pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan
serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi
daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu
adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup
semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi.
Dalam
penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Atas
dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a.
Penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta
potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b.
Pelaksanaan otonomi daerah
didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c.
Pelaksanaan otonomi daerah
yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang
otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d.
Pelaksanaan otonomi daerah
harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e.
Pelaksanaan otonomi daerah
harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah
Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
f.
Pelaksanaan otonomi daerah
harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik
fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
pemerintah daerah.
g.
Pelaksanaan azas dekonsentrasi
diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi
untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h.
Pelaksanaan azas tugas
pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga
dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun
tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan
dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan
bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a.
Mengemukakan kesadaran
bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air
Indonesia.
b.
Melancarkan penyerahan dana
dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah
dalam sejarah Indonesia bukanlah hal yang baru. Dalam perundang-undangan,
otonomi daerah telah diatur sejak masa Orde Baru yaitu dalam Undang-Undang No.
5 tahun 1974 tantang pokok-pokok pemenrintahan daerah (1). Tetapi pada
prakteknya, otonomi daerah tidak pernah dilaksanakan, pemerintah pusat tetap
menjalankan desentralisasi dalam hubungan antara pusat dan daerah.
Setelahnya runtuhnya Orde Baru, pemerintahan baru di bawah pimpinan Presiden Habibie mendapatkan tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan kepada beberapa pilihan menyangkut hubungan pusat dan daerah. Pertama, pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah. Kedua, pembentukan negara federal dan ketiga, membuat pemerintah daerah sebagai agen murni pemerintah daerah (2).
Setelahnya runtuhnya Orde Baru, pemerintahan baru di bawah pimpinan Presiden Habibie mendapatkan tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan kepada beberapa pilihan menyangkut hubungan pusat dan daerah. Pertama, pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah. Kedua, pembentukan negara federal dan ketiga, membuat pemerintah daerah sebagai agen murni pemerintah daerah (2).
Digagasnya otonomi daerah ini tentunya tidak
terlepas dari keinginan untuk pemerataan pembangunan di daerah-daerah seluruh
Indonesia, tetapi tentu saja ini tidak terlepas dari kelemahan dan kelebihan
yang dimiliki sistem otonomi daerah ini. Berikut adalah kelebihan dan kelemahan
otonomi daerah yang dapat dihimpun oleh penulis sebagai berikut:
A. Kelebihan
A. Kelebihan
- Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan
- Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
- Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.
- Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih muda untuk diadakan.
- Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
- Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebuh beser kepada daerah.
B. Kekurangan
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kekurangan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini:
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kekurangan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini:
- Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang mempersulit koordinasi.
- Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
- Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau provinsialisme.
- Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.
- Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar